Sumber-sumber Hukum Islam

Sumber-sumber Hukum Islam





Sebenarnya sumber hukum Islam memang Al-quran dan sunnah. Keduanya adalah telah disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum. Namun dalam kasus di mana Al-Quran dan As-Sunnah tidak menyebutkan secara eksplisit tentang hukum suatu masalah, maka diperlukan metodologi untuk mendapatkan jawabannya. Tentu saja metodologi itu juga harus seiring dan sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.


            Di antara metodologi pengambilan hukum Islam adalah ijma' dan qiyas. Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari sumber di atas, seperti Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al Quran. Karena Imam Syafi'i mengatakan, "Sesungguhnya hukum-hukum Islam tidak diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang terkandung dalam nash." Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya. Meski, Imam Syafi'i membatasi maksudnya "kandungan nash" hanya dengan qiyas saja. Sementara ahli fiqh lainnya memperluas pengertian "kandungan nash".

Maka bila kita urutkan, kita bisa membuat daftar sumber hukum Islam berserta dengan metodologinya sebagai berikut:

A. Sumber-sumber Pokok:

1.      Al Quran


Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Menurut ulama Ushul Al-Qur’an adalah, “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf, berbahasa arab, dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, diawali dari surat Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya merupakan ibadah.

Al-Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci, namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesama dengan cara garis besar. Dalam syariat Islam Al-Quran adalah undang-undang dalam menetapkan aturan social. Ia sebagai tuntutan bagi Nabi saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia merupakan sumber utama dan pertama. Banyak hukum-hukum mengenai ibadah dalam Al-Quran disebutkan secara garis besar seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan secara cara melakukan shalat atau kadar yang dikeluarkan dalam zakat. Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik dengan perkataan atau perbuatan Rasulullah saw. Demikian hal dengan perintah Al-Quran untuk memenuhi perjanjian dan akad serta halalnya jual beli dan haram riba disebutkan secara garis besar. Dalam Al-Quran tidak dijelaskan secara terperinci akad dan traksaksi jual beli yang sah dan dibenarkan oleh syariat dan yang tidak dibenarkan.

Namun dalam beberapa hal, Al-Quran memberikan penjelasan terperinci seperti masalah warisan, mekanisme Li'an (suami yang menuduh istrinya melakukan zina tanpa bukti yang cukup), sebagian hukuman hudud, perempuan yang haram dinikahi, dan beberapa hukum lainnya yang tidak berubah sepanjang zaman.

Penguraian secara garis besar, terutama dalam masalah hukum-hukum muamalat sosial, sistem politik membantu kita memahaminya dan memudahkan mempraktekknya dalam situasi yang berbeda dengan tetap berpegang dengan pemahanan yang benar. Penguraian garis besar juga menegaskan bahwa Al-Quran dirinci oleh Rasulullah saw. dalam menentukan mekanisme hukum, kadarnya, dan batasannya.

Karenanya, Al-Quran memberikan isyarat tentang tugas Sunnah dalam hal ini.

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al Hasyr: 7)

Dari sini, maka sunnah adalah pintu masuk memahami Al-Quran secara utuh.

2.      As Sunnah


Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq."
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar Al-Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan. Namun demikian Sunnah mengikut Al-Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar dari kaidah-kaidah umum dalam Al-Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan susuatu yang pasti dalam memahami Al-Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan dipraktikkan dengan benar.




Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai hingga ke Rasulullah saw. Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas agama dan moral para perawi (pembawa hadis) itu sudah melalaui seleksi ketat oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan hadis dan kebenarannya sudah melalui pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang bisa dijadikan sumber hukum. Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu (maudlu') yang tidak bisa dijadikan referensi dan sumber hukum syariat.

Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta' karangan Imam Malik dan Musnad Ahmad karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama fiqh.

Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al-Quran kemudian dari Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: "Bagaimana kamu memutuskan masalah yang kamu hadapi?" Muadz: "Saya memutuskan dengan kitab Allah." Rasulullah: "Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya?" Muadz: "Dengan Sunnah Rasulullah,"

Kepada hakim Syuriah, Umar bin Khattab mengirim surat kepadanya yang berisi, "Hendaklah kamu memutuskan dengan kitab Allah, jika tidak menemukan maka dengan Sunnah Rasulullah saw."

3.      Ijma'


Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam. Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.

Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma tersebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.

Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)

Rasulullah saw. Bersabda, ”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,” dalam riwayat lain “…dalam kesalahan,”

Dalam hadis lain, ”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah dan apa yang menurut mereka buruk maka buruk di sisi Allah.”

Di hadis lain disebutkan, ”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatannya dari Islam.”

Di samping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.

4.      Qiyas


Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlakukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan 'illat."

Sebagai contoh, yang Allah haramkan hanya khamar saja di dalam Al-Quran. Khamar adalah perasan buah anggur yang sudah sampai pada kondisi tertentu sehingga peminumnya bisa mabuk. Terus terang tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan bir dan beragam minuman keras lainnya. Apakah hukumnya menjadi tidak haram? Tentu saja semua jenis minuman keras haram hukumnya dengan diqiyaskan kepada khamar. 'Illatnya adalah karena memabukkan, maka segala makanan dan minuman yang memabukkan hukumnya sama dengan khamar dengan jalan diqiyaskan. Sehingga hukumnya haram.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.

Kenapa harus ada Qiyas?

Sebab teks-teks Al-Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijtihad dari para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al-Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

B. Sumber-sumber taba'iyah (turunan)


Di sebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara dari pemahaman baik langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah.


1.      Masalih mursalah


Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap individu atau masyarakat dalam banyak bidang.

Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-masalah lainnya.

Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah SAW tetapi boleh dilakukan demi kemashlahatan ummat. Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatan ummat yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama.

2.      Istidlal


Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang mengetahuinya.”

Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat shahnya shalat.

Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam kedurhakaan.

3.      Istishhab


Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya.

Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian ulama menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”

4.      Saddu Dzari’ah


Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan menanam ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orang-orang menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat diskotik karena biasanya sebagai tempat maksiat dan dosa.

5.      Istihsan


Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri di musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.

6.      'Urf


Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana tidak melakukannya. Contoh lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.
7.      Syaru man qoblana

Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus. Para ulama berbeda pendapat tentang keberlakuan syariat untuk nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW. Apakah bila tidak ada penghapusan dari syariat Islam, lantas secara otomatis berlaku ataukah harus ada ketetapan terlebih dahulu dari Rasulullah SAW tentang masih berlakunya hal tersebut.

Sebab pada kenyataannya, masih ada perbedaan dalam detail syariat yang berlaku untuk nabi terdahulu. Misalnya, nabi Daud as. berpuasa bukan hanya di bulan Ramadhan, melainkan sepanjang tahun dengan berselang-seling sehari berbuka dan sehari puasa. Ini tentu berbeda dengan syariat puasa untuk nabi Muhammad SAW dan ummatnya yang hanya pada bulan Ramadhan saja.

Sumber:
www.eramuslim.com
SISTEM ACARA PERADILAN ANAK

SISTEM ACARA PERADILAN ANAK




Pasal 1 Angka
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK)

2. Anak Nakal adalah:
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 1 Angka 3.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK)

Didalam UU No 11/2012. Anak Itu di bagi 3 yaitu:
1.      Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 1 Angka 3.
2.      Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.Pasal 1 Angka 4.
3.      Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Pasal 1 angka 5

Di dalam UU 3/1997 Anak Itu dibagi 2 :
1.      anak yang melakukan tindak pidana; atau
2.      anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menuru peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Jenis Pidana Menurut KUHP

Pasal 10
a.       Hukuman-hukuman pokok:
1e. Hukuman Mati
2e. Hukuman Penjara
3e. Hukuman Kurungan
4e. Hukuman Denda
b.      Hukuman-hukuman Tambahan
1e. Pencabutan Beberapa hak tertentu
2e. Perampasan Barang yang tertentu
3e. Pengumuman keputusan Hakim

Jenis Pidana Menurut UU No 3/1997

Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.

Jenis Pidana Menurut UU No 11/2012

Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

PANDANGAN BATAS SANGSI PIDANA  MATI DAN SEUMUR HIDUP DALAM (UU NO. NO 3/1997 DAN UU NO 11/2012)

Bagi Anak Yang Belum Berumur atau di bawah Umur 8 atau 12 Tahun Menurut UU No. 3/1997

Pasal 5
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya.
www.hukumonline.com
 (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen

Pasal 26  Ayat
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Note:
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Apabila Anak Telah Mencapai Umur 8 (Delapan) Tahuntetapi Belum Mencapai Umur 18 (Delapan Belas) Tahun Dan Belum Pernah Kawin Dan Anak Tersebut  Melakukan Tindak Pidana (Pasal 1 Anka 1 Dan 2), Dihukum :

Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar
maka diganti dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Pasal 29
(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan
paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama
menjalani masa pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan
dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat
bagi syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3
(tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan, dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah
ditentukan.
(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan
berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.
(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan
sekolah.

Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut
ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagi Anak Yang belum Berumur 12 Tahun kemudia Melakukan Tindak Pidana. Menurut UU No. 11/2012. Di Hukum :
Pasal 21
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagi Anak Yang Berumur 12 Tahun Tetapi Belum Berumur 18 (Delapan Belas) Tahun Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, Di Hukum:
Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

DIVERSI

Pasal 1 Angaka 7 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6
Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Pasal 7
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pasal 10
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak  (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 11
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.

Pasal 12
(1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
(2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
(5) Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.

Pasal 13
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Pasal 14
(1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan.
(2) Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan.
(3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.