Pocut Meuligo

Pocut Meuligo

Pocut Meuligoe adalah seorang pemimpin wanita pewaris tahta Kerajaan Samalanga (Aceh). Pada saat Belanda] hendak memasuki Samalanga, Pocut Meuligoe yang masih belia telah berhasil mempertahankan wilayah kerajaannya. Ia mewajibkan setiap pria untuk turun ke medan perang dan bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dari kewajibannya tersebut.

Pocut Meuligoe termasuk dalam para wanita pejuang Aceh, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini telah mempertahankan Samalanga dari serangan Belanda selama beberapa tahun, bahkan Jend. Karel van der Heijden kehilangan satu matanya dalam peperangan berusaha merebut wilayah Samalanga. Mata kiri Jenderal Van der Heijden tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja putri, Pocut Meuligoe.


Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.

Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.

Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.

Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah.

Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.

Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.

Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.

Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.

Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.

Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.

Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).

Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.

Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1585-1604, Malahayati memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee(janda-janda pahlawan yang telah meninggal) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Inong Balee adalah pasukan khusus perempuan yang terdiri dari para janda. Inoong Balee membangun benteng yang kokoh di Teluk Kreung Raya. Benteng ini sering disebut juga benteng Malahayati. Benteng Malahayati ini berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi 2000 janda anggota pasukan Inong Balee. Melalui benteng ini mereka mengawasi perairan Selat Malaka, mereka mengintai armada-armada Portugis, Belanda, dan Inggris. Malahayati berhasil melatih janda-janda tersebut menjadi pasukan marinir yang tangguh. Sungguh mereka adalah para janda luar biasa.

Kegigihan pejuang Aceh melawan penjajah tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Aceh yang sangat relijius. Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Ini dibuktikan dengan peninggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh raja Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M di Pasai, Aceh Utara. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sejak saat itu landasan ajaran Islam sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh. Bahkan hingga kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana.

Aceh terletak di daerah yang sangat strategis, yaitu di selat Malaka. Semua kapal-kapal Eropa yang bertujuan memasuki wilayah Indonesia terutama pulau Jawa harus melalui selat Malaka. Jalur selat Malaka ini sangat ramai, sering juga disebut jalur sutera dua. Para pedagang dari benua Eropa, China, Asia sering menggunakan jalur sutera dua ini untuk membeli rempah-rempah di kepulauan nusantara. Pada saat itu komoditi rempah-rempah sangat berharga.

Kondisi geografis seperti ini mengharuskan Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh. Dan sejarah pun mencatat Aceh pernah berhasil menjadi penguasa selat Malaka yang gagah berani nan disegani. Aceh memiliki laksmana-laksmana yang gagah dan hebat. Salah satu laksmana yang begitu fenomenal dan spektakuler dalam sejarah adalah Malahayati. Dialah laksmana perempuan pertama di dunia. Ketika negara-negara maju menggembar-gemborkan emansipasi wanita di dunia ketiga, maka Malahayati telah melenggang menunjukan kemampuannya memimpin pasukan perang. Malahayati yang memiliki nama asli Keumala Hayati berasal dari keluarga militer. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Menurut manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, diperkirakan Malahayati lahir tahun 1575. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah. Sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika Malahayati masih kecil.

Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Malahayati kecil sering diajak berlayar oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan Malahayati mencintai dunia bahari sejak dini. Dia bertekad untuk menjadi pelaut handal seperti ayahnya. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan Aceh Darussalam saat itu. Ketika dewasa, Malahayati menikah dengan seorang Perwira Laut alumni dari Akademi Militer tersebut. Malahayati telah memantapkan tekadnya untuk menapaki karir di dunia militer.

Pasangan suami istri ini menjadi pasangan perwira laut yang handal. Akan tetapi tak lama kemudian suaminya meninggal dalam pertempuran laut melawan Portugis. Malahayati berduka. Meski terpukul karena menjadi janda muda, tetapi Malahayati tidak mundur dari dunia militer. Malahayati menjabat sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Kemudian menjadi kepala dinas rahasia.

Pada saat itu menjadi janda karena ditinggal mati syahid oleh suami yang berperang adalah hal yang lumrah di Aceh. Malahayati bisa memahami kondisi kejiwaan para janda tersebut, karena dia pun janda. Pada masa itu hampir seluruh pria dewasa warga Aceh menyambut seruan jihad melawan penjajah Portugis. Mereka berperang sampai titik darah penghabisan, hingga syahid menjemput.

Perempuan Aceh bukanlah perempuan cengeng, mereka bangga apabila salah satu anggota keluarganya ada yang mati syahid. Karena orang yang mati syahid mampu memberikan syafaat bagi 70 anggota keluarganya di akhirat nanti. Meski menjadi janda, tetapi perempuan Aceh tetap tegar menapaki kehidupan. Bahkan janda-janda tersebut bertekad untuk hidup mulia atau mati syahid seperti para suami mereka. Malahayati berinisiatif untuk mengorganisir janda tersebut dengan membentuk Inong Balee.

Sebagai seorang pimpinan, Malahayati secara ksatria memimpin pertempuran secara langsung di lapangan. Dia memimpin armada laut kerajaan Aceh yang jumlahnya cukup banyak. Menurut John Davis, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi kerajaan Aceh pada saat Malahayati menjadi Laksmana, Kerajaan Aceh memiliki 100 buah kapal perang. Diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Malahayati lah pimpinan tertinggi angkatan laut Kerajaan Aceh.
Armada Laut Kerajaan Aceh sangat ditakuti oleh Portugis, Inggris dan Belanda. Padahal pada masa itu ketiga negara tersebut adalah negara adidaya. Banyak catatan orang asing seperti China, Eropa, Arab, India, yang mengakui kehebatan Malahayati.

Salah satu peristiwa yang akan selalu dikenang oleh sejarah adalah Malahayati berhasil mengusir armada-armada Belanda dibawah pimpinan De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman. Cornelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1596 dan berhasil menancapkan kuku imperialisme di Jawa.

Pada tahun 1599, De Houtman bersuadara melakukan kunjungan kedua ke Indonesia. Dalam kunjungan kedua ini de Houtman bersaudara bersandar di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Mereka berniat untuk mengusai kerajaan Aceh karena letaknya yang sangat strategis sebagai gerbang kepulauan nusantara. Malahayati mengetahui niat busuk de Houtman bersaudara, dia bertekad akan bertempur habis-habisan mengusir penjajah terlaknat.

Malahayati mengerahkan seluruh pasukannya dan memegang komando tertinggi. Armada Belanda kelabakan, terdesak, dan akhirnya berhasil dihancurkan semua. Frederick de Houtman tertangkap kemudian dijadikan tawanan Kerajaan Aceh. Sedangkan Cornelis De Houtman berhasil dibunuh oleh Malahayati sendiri pada tanggal 11 September 1599. Pada awalnya Cornelis berniat menjebak Malahayati dalam suatu perjamuan makan malam untuk membicarakan gencatan senjata.

Tetapi niat jahat tersebut tidak tercapai, Malahayati berhasil menyelamatkan diri bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan duel satu lawan satu diatas geladak kapal. Saya merinding, saat menulis bagian ini. Membayangkan keperkasaan Malahayati ketika duel bersenjatakan rencong. Atas jasanya memukul mundur armada Belanda, Malahayati dianugerahi gelar Laksamana oleh Kerajaan Aceh.
Selain armada Belanda, Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga Selat Malaka sangat ditakuti oleh negara-negara asing. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa, terutama Belanda. Sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Malahayati. Kerajaan Belanda sangat menghormati kerajaan Aceh. Hal ini terlihat ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada Paulus Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada kerajaan Aceh. Bayar denda tersebut adalah akibat dari tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh dan menenggelamkan kapal dagang Aceh. Setelah itu Van Caerden merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.

Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India.

Bahkan Inggris pun tidak berani secara terang-terangan menunjukan keinginannya untuk menguasai rempah-rempah di nusantara. Inggris yang terkenal sebagai penguasa lautan memilih jalan damai dengan kerajaan Aceh. Ratu Elizabeth I mengirim surat diplomatik yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh. Surat diplomatik ini membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris. Malahayati menjabat sebagai laksmana kerajaan Aceh dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati berhasil mengantarkan Aceh menjadi kerajaan yang disegani baik oleh kawan maupun lawan. Malahayati berhasil menjaga stabilitas Selat Malaka. Kehebatannya diakui oleh semua bangsa yang berhubungan dengan kerajaan Aceh. Nama Malahayati cukup membuat bergidik bangsa-bangsa adidaya saat itu. Tapi saat ini, nama Malahayati tinggallah kenangan. Banyak orang yang tak mengenalnya.

Penghargaan

KRI Malahayati (362)Universitas Malahayati di Bandar Lampung, Akademik Kebidanan Malahayati, dan Pelabuhan Malahati (Aceh Besar)

                    
Selain dinamakan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia, nama Malahayati juga banyak diabadikan dalam berbagai hal. Pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dinamakan dengan Pelabuhan Malahayati. Selain itu, salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut dinamakan dengan KRI Malahayati.

Dalam dunia pendidikan terdapat Universitas Malahayati yang terdapat 
 di Bandar Lampung. Sebuah serial film Laksamana Malahayati yang menceritakan riwayat hidup Malahayati telah dibuat pada tahun 2007. Nama Malahayati juga dipakai oleh Ormas Nasional Demokrat sebagai nama divisi wanitanya dengan nama lengkap Garda Wanita Malahayati.

 Akademik Kebidanan Malahayati
 Makam  Laksamana Malahayati





 


Pelabuhan Malahati (di Krung Raya Aceh Besar)
Teungku Fakinah

Teungku Fakinah

Teungku Fakinah
Ulama Besar dan pahlawan perang wanita dari Aceh



Teungku Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro

Sesudah Teungku Fakinah dewasa, pada tahun 1872 dikawinkan dengan Teungku Ahmad dan Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Deah/perguruan (pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa'at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie. Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.

Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873 wafatlah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air. Semenjak Tengku Fakinah telah menjadi janda yang masih remaja. Maka semenjak itulah beliau membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggotaanggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.

Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.

Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata), maka dalam tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh pihak Belanda yaitu pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (Benteng Pertahanan) di bawah Komando Tengku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang komandan bawahan, yaitu:
  1. Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh.
  2. Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat.
  3. Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Fakinah sendiri.
  4. Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong.
Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh wanita-wanita sejak dan membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh para wanita yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri bersama rekanrekannya wanita lain seperti :
  1. Cutpo Fatimah Blang Preh,
  2. Nyak Raniah dari Lam Uriet,
  3. Cutpo Hasbi,
  4. Cutpo Nyak Cut, dan
  5. Cut Puteh.
Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang patut agar Tengku Fakinah Panglima Perang itu, dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee. Alasan untuk mengawinkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima perang wanita dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum tidak layak dalam suatu perundingan seorang wanita tidak didampingi oleh suaminya. Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang tua ini, maka dengan demikian perkawinan mereka dilangsungkan. Setelah perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami kedua beliau yaitu Tengku Nyak Badai tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W Stempoort. Di antara Pahlawan yang memimpin pasukan di bawah komando Teungku Fakinah, adalah :
  1. Habib Abdurrahman, yang lebih terkenal dengan Habib Lhong, Beliau Syahid dalam suatu pertempuran.
  2. Tengku M. Saleh, Beliau juga Syahid
  3. Tengku Ahmad, yang lebih terkenal dengan Teungku Leupung, Beliau tidak Syahid, akan tetapi masih sempat membantu Teungku Fakinah dalam kehidupan pembangunan
  4. Tengku Nyak Badai, suami kedua Teungku Fakinah, dan Beliau juga Syahid
  5. Tengku Daud, Beliau juga Syahid.
Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah T. Umar sendiri. Jika T. Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung dengan Cut Nyak Dhien.

Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan katakata:
"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".
Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa laki-laki melawan wanita janda.

Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk bertemu langsung denganya Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak kunjung datang.

Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk pembeli kapur dan sirih.

Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:
"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet".
Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami seperti semula".

Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang. Pindah Ke Tangse Sesudah jatuhnya Seulimum, Teungku Fakinah mengungsi ke lammeulo (Cubok), mula-mula ia tinggal di Tiro bersama dengan Teuku Tjik di Tiro Mat Yeet, setelah itu pindah ke Tangse dan sekaligus membangun tempat tinggalnya di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru ini, dan didaerah ini juga dibangun Deah (perguruan/Pasantren) tempat wanita mengaji Al-Qur'an. Namun dalam tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau terlepas dari kepungan serdadu tersebut.

Semenjak itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta (benteng), namun hanya bergerilya basama-sama Pocut lam gugob istri dari Tuanku Hasyim banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya mengarungi hutan belantara, berpindah-prndah sampai kepegunungan Pasai, dan Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, dalam pengawasan Tengku Nyak Mamat Peureulak. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan cara berpindahpindah.

Kembali ke Lam Krak Sesudah Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala dapat ditundukkan oleh Van Heutz, maka pada tanggal 21 Mei 1910 atas permintaan Teuku Panglima Polem, supaya Teungku Fakinah pulang kembali ke kampung halaman untuk membuka kembali deah/pesantren di Beuha (Lam Krak). Dengan demikian pada tahun 1911 Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka kembali Deah/Pesantren, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Setelah deah ini berdiri, maka banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Aceh seperti halnya : seluruh pelosok 3 segi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.

Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku Fakinah sangat besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid Deah/Pesantren, sehingga murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dan orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya yang disumbangkan oleh masyarakat terhadap Deah/Pesantren tersebut seperti Al- Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.

Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum beliau berangkat terlebih dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian beliau kawin dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915 beliau berangkat menuju tanah suci Mekkah. Di Mekkah beliau menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syech Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji, beliau masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh gurugurunya dilakukan di dalam Masjidil Haram Mekkah kepada murid-muridnya.

Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami beliau yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh murid-muridnya, dan ketika itupulalah beliau memimpin kembali Deah/Pesantren yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada muridmuridnya. Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M, Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.

Dengan meninggalnya Teungku Fakinah, maka telah tertanam duka cita yang sangat mendalam khususnya bagi masyarakat Mukim Lam Krak, VII Mukim Baet, yang meliputi seluruh murid-muridnya dan simpatisan seluruh Aceh Besar, bahkan daerah Aceh Timur, Aceh Barat, dan Pidie, sehingga berdatangan dari segala penjuru di atas ke rumah duka/Deah untuk menyatakan rasa duka cita dan berlangsung belasungkawa.

Sumber :
Wikipedia Indonesia
Sultanah Ke 1 Aceh Nahrasiyah

Sultanah Ke 1 Aceh Nahrasiyah

Sultanah Nahrasiyah merupakan anak dari Sulthan Zainal Abidin yang mangkat pada tahun 1405. Pada masanya dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab, “Zainal Abidin Malik az Zahir” dan di bagian belakang tertulis, “As Sulthan Al Adil”.
Sultanah Nahrasiyah berkuasa selama 20 tahun lebih ia dikenal sebagai ratu yang arif bijaksana. Makamnya pun begitu megah, konon pada masanya merupakan makan terindah di Asia Tenggara, di Lhokseumawe, Aceh Utara, tepatnya di Gampong (desa) Kuta Krueng Kecamatan Samudera 18 Km arah timur kota Lhokseumawe, terdapat kompleks makam kerajaan Samudera Pasai (1267-1521). Kuta Krueng sendiri, sekitar satu kilometer dari kompleks makam, dahulu kala merupakan pusat Kerajaan Samudera Pasai.
Di dalam kompleks terdapat 38 batu pusara, dengan makam utama Sultan Malikussaleh dan Sultan Malikudzahir. Lain-lainnya adalah makam keluarga dan para pengawal kerajaan. Di bagian lain, tak jauh dari makam Malikussaleh, tepatnya mendekati bibir pantai Lhokseumawe, terdapat makam lainnya yang juga mencolok mata. Makam terlihat megah. Terbuat dari batu pualam dengan ukiran-ukiran kaligrafi yang indah. Kaligrafi (tulisan indah dalam bahasa Arab) itu berupa Surat Yasin yang cantik terpahat pada nisannya. Di samping itu tercantum pula ayat kursi, Surat Ali Imron ayat 18 dan 19, Surat Al Baqoroh ayat 285, 286 dan terpahat sebuah penjelasan dalam aksara Arab. Arti aksara itu disebutkan Prof Dr Ibrahim Alfian MA dalam tulisannya di buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah diterjemahkan :
“Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang terhormat almarhumah yang diampunkan dosanya, Nahrasiya putri Sultan Zain al-Abidin putera Sultan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, meninggal dunia dengan rahmat Alloh pada hari Senin, 17 Dzulhijah 832 Hijriah.”

Sang Ratu adalah anak dari Zainal Abidin Malikudzahir atau cucu dari Sultan Malikussaleh. Ia mangkat pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 831 Hijriah atau 27 September 1428 M. Makamnya terbuat dari batu pualam yang pada waktu itu terindah pahatannya di Pulau Sumatera. Bahkan disebutkan Prof Dr T Ibrahim Alfian, MA, Prof Dr Christian Snouck Hougronje dari Belanda yang meneliti kuburan sang ratu, telah menuliskan di bukunya , “Arabie en Oost Indie” 1907, bahwa makan Ratu Nahrasiyah terindah di Asia Tenggara.

Dalam buku Snouck juga menuliskan, makam tersebut merupakan duplikat dari makam Umar Ibn Akhmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat, India yang mangkat pada 734 H atau 1333 M. Bentuk nisan seperti itu satu abad lebih setelah wafatnya Ratu Nahrasiyah juga dipakai  pada pembangunan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Mengenai makam tersebut, warga sekitar melihat beberapa kelebihannya. Terutama ketika terjadi tsunami melanda Aceh. Gelombang tsunami memorak-porandakan pagar kompleks pemakaman. Namun makam sang ratu tidak rusak sama sekali. Gelombang air menerjang diatasnya, hanya menyisakan lumpur dan pasir di bawahnya.
Siapakah sejatinya ratu dari Kesultanan Samudera Pasai ini ?

Nahrasiyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1405-1428 M. Ratu Nahrasiyah merupakan anak dari Sultan Zainal Abidin Malikudzahir yang mangkat pada tahun 1405. Ada juga versi yang menyebutkan kalau Nahrasiyah adalah janda sang raja yang mangkat, Zainal Abidin, lalu ia dinobatkan sebagai penggantinya.

Sekilas tentang kesultanan Samudera Pasai, berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, diceritakan didirikan oleh Marah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malikussaleh. Ia wafat pada tahun 699 H atau 1297 M. Setelah beberapa kali pergantian Sultan, antara tahun 1345-1350 kesultanan diserang Majapahit, Sultan Pasai melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Sejak itu Kesultanan Pasai mati suri.

Kesultanan kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zainal Abiddin Malikudzahir tahun 1383 M. Ia memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik China “Ying-yai sheng-lan,” Sultan Zainal Abidin dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan pasai dilanjutkan oleh putrinya –versi lain menyebutkan istrinya –Sultanah Nahrasiyah.

Prof Dr T Ibrahim Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak, memerintah dengan sifak keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya. Nahrasiyah mangkat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 1428 M.

Ibrahim Alfian menjelaskan, selain jejak sejarah berupa nisan, keterangan tentang Ratu Nahrasiyah juga terdapat dalam sejarah Cina di atas. Buku itu sebenarnya berisi laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatera waktu itu. Namun juga menyebut tentang raja yang berkuasa pada saat itu. Ma Huan seorang pelawat Cina Muslim dalam pengantar buku itu menjelaskan, karena dapat menerjemah buku-buku asing, ia dikirim oleh maharaja Cina ke berbagai negeri mengiringi Laksamana Cheng Ho.

Pada tahun 1415 Cheng Ho dan armadanya mengunjungi Kerajaan Samudera. Dalam Kronik Dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua Ratu, bersama dengan beberapa ribu pengikutnya menyerang dan merampok Cheng Ho. Serdadu-serdadu Cina dan rakyat Samudera dapat mengalahkan mereka, membunuh sebagian penyerang itu dan mengejar mereka sampai ke Lambri di ujung pulau Sumatera. Sekandar kemudian di tangkap dan dibawa sebagai tawanan ke istana maharaja Cina. Disana Sekandar dijatui hukuman mati. Menurut Ibrahim Alfian, ratu yang dimaksud dalam cerita Cina itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin atau yang disebut literature Cina sebagai Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.

Tak Tertera Dalam Koin Emas
 Sayangnya sangat sedikit bukti tentang kebesaran sang ratu. Bahkan namanya tak ditemukan tertera di mata uang emas yang pada zaman Kerajaan Pasai menjadi kebiasaan untuk mengabadikan nama sang sultan di mata uang emas yang pada masa itu disebut dirham. Dirham atas nama Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih 20 tahun tidak ditemukan baik dalam berbagai koleksi maupun literature numismatic mata uang emas kerajaan-kerajaan Islam di Aceh.

Mengenai hal itu, Ibrahim Alfian mengatakan, mungkin karena Ratu Narasiyah setelah suaminya syahid, lalu menikah dengan suami yang kedua bernama Salahuddin, sama-sama memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Sehingga nama suaminya yang bergelar Sulthan al Adillah yang diterakan di mata uang emas di bagian sisi belakang. Karena pada masa Ratu Nahrasiyah, dikeluarkan dirham dengan sisi depan bertulis Arab nama ayahnya, “Zainal Abidin Malikudzahir” dan dibagian belakang tertulis, “As Sulthan al Adil”.

Salahuddin sendiri tidak memakai gelar Malikudzahir karena ia bukan keturunan dinasti Malikudzahir. Karenannya gelarnya diterakan pada sisi belakang dirham, bukan di bagian depan sebagaimana lazimnya dirham emas raja-raja Pasai. Dirham Salahuddin dengan kualitas emas 17 karat. Sedangkan dirham Sultan Zainal Abidin kualitas emas 18 karat.
Mengapa koin emas atas nama sang ratu tidak ada, menjadi pertanyaan hingga saat ini. Mengingat makamnya yang megah dan indah, tentulah ia seorang pemimpin yang agung. Tentulah banyak keberhasilan yang telah ditorehnya. Sayang, catatan tentang sang ratu sangat minim. Yang paling mungkin adalah, karena Sultanah menikah lagi, sehingga tampuk kekuasaan  banyak dipimpin suaminya, Salahuddin.

Sang Sultanah telah membuat kaum perempuan saat itu ikut maju. Bisa belajar agama dan menjadi penyiar-penyiar agama sebagaimana ditulis Ibrahim Alfian.