Hukum Islam



A.  Pengertian
Kata hukum sering dikonotasikan dengan peraturan dan sejenisnya. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu  ح ك م  yang dapat imbuhan ا danل  sehingga menjadi الحكم bentuk masdar  dari حكم-يحكم . selain itu الحكم merupakan bentuk mufrad dan bentuk jamaknya adalah الأحكم.

Berdasarkan akar kata tersebut melahirkan kata الحكمةartinya kebijaksanaan. Maksudnya, orang yang memahami hukum lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai orang bijaksana. Selain itu, akar kata ح ك مdapat melahirkan kata الحكمة artinya kendali atau kekangan kuda, yaitu hukum dapat mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh agama.

Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam al-Qur’an dan sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun, yang digunakan adalah kata syariat Islam, yang kemudian dalam pejabarannya disebut
Artinya:
Menetapkan sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.

B.      Ruang Lingkup Pembindangan Hukum Islam
Para ulama membagi ruang lingkup hukum Islam (fiqh) menjadi dua yaitu:
1.      Ahkam al- Ibadat
Ahkam al-Ibadat, yaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Ahkam al-Ibadatini dibedakan kepada Ibadat Mahdla dan Ibadat Ghair Mahdlah. Ibadah Mahdlah adalah jenis ibadah yang cara waktu atau tempatnya sudah ditentukan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar dan sumpah. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah semua bentuk pengabdian kepada Allah swt. dan setiap perkataan atau perbuatan yang memberikan manfaat kepada manusia pada umumnya, seperti berbuat baik kepada orang lain, tidak merugikan orang lain, memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan, mengajak orang lain untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk, dan lain-lain.

2.      Ahkam Al-Mu’malat
Ahkam al-Mu’amalat, yaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang mengatur hubungan antar manusia (mahluk), yang terdiri dari :
a.       Ahkam al-ahwal al-syahsiyat (hukum orang dan keluarga), yaitu hukum tentang orng (subyek hukum) dan hukum keluarga, seperti hukum perkawinan.
b.      Ahkam al-Madaniyat (Hukum Benda), yaitu hukum yang mengatur masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, penyelasian harta warisan atau hukum kewarisan.
c.       Al-ahkam al-Jinayat (Hukum Pidana Islam), yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (delict,jarimah) dan ancaman atau sanksi hukum bagi yang melanggarnya (uqubat)
d.      Al-ahkam al-qadla wal al-Murafa’at (hukum acara), yaitu hukum yang berkaitan dengan acara diperadilan (hukum formil), umpama aturan yang berkaitan dengan alat-alat bukti, seperti saksi, pengakuan, pengakuan, sumpah, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan lain-lain.
e.       Ahkam al-Dusturiyah (hukum tata Negara dan perundang-undangan), yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti mengenai pangaturan dasar dan system Negara, perundang-undangan dalam Negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban pemimpin, hubungan pemimpin dengan rakyatnya, dan lain-lain.
f.        Ahkam al-dauliyah (hukum Internasional), yaitu hukum yang mengatur hubungan antar Negara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
g.      Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (Hukum Perekonomian-dan moneter), yaitu hukum tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu Negara dan antarnegara.

Sistematika hukum (ahkam al-muamalat) diatas, pada dasarnya sama dengan sistematika dalam ilmu hukum. Menurut ilmu hukum, hukum dapat dibedakan menjadi :
1.    Hukum formil terdiri dari :
a.       Hukum public formil (hukum acara pidana)
b.      Hukum privat formil (hukum acara perdata)
2.    Hukum materil terdiri dari :
a.       Publik
a). hukum pidana
b). Hukum tata Negara
c). Hukum tata usaha Negara
d). Hukum public internasional
b. Hukum Privat
a). Hukum perdata
b). Hukum dagang
c). Hukum intergentil (hukum antar golongan)
d). Hukum perdata Internasiona.

Jika dibandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum barat, yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan antara hukum perdata dan hukum public. Hal ini disebabkan karena menurut system hukum Islam pada hukum public ada segi-segi perdatanya, maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu, yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalnya :
1.      Munakahat
2.      Wirasah
3.      Mu’amalat dalam arti khusus
4.      Jinayat atau ‘ukubat
5.      Al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah)
6.      Syiar
7.      Mukhsama.
Jika ruang lingkup syariah diatas analisis objek pembahasannya, tampak mencerminkan seperangkat norma ilahi yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma ilahi yang mengatur tata hubungan dimaksud adalah :
1.      Kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya.
2.      Kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan mahluk lain dilingkungannya.

C. Ciri-Ciri dan Tujuan Hukum Islam

Berdasarkan ruang lingkup hukum Islam yang telah diuraikan dapat ditentukan cirri-ciri hukum Islam sebagai berikut:
1.    Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.
2.    Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak Islam
3.    Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu syariah dan fikih. Syariah bersumber dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad saw. dan fikih adalah hasil pemahaman manusia yang bersumber dari nash-nash bersifat umum.
4.    Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah dalam arti yang luas. Hukum ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna karena telah sempurna dan muamalah dalam arti yang luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat untuk itu dari masa ke masa.
5.    Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seperti yang akan diuraikan dalam bentuk bagan tangga bertingkat. Dalil al-Qur’an yang menjadi hukum dasar dan mendasari sunnah Nabi Muhammad saw. dan lapisan-lapisan seterusnya ke bawah.
6.    Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala
7.    Hukum Islam dapat dibagi menjadi :
a.       Hukum taklifi atau hukum taklif  yaitu, al-ahkam al-khamsah yang terdiri atas lima kaidah jenis hukum lima penggolongan hukum, yaitu jaiz, sunnat, makruh, wajib, dan haram.
b.      Hukum wadh’i ,yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan terwujudnya hubungan hukum.

Adapun tujuan hukum Islam bila ditinjau dari dua segi yakni segi pembuat hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya, dan segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari segi pertama yaitu pembuat hukum Islam maka tujuan hukum Islam itu adalah :
1.      Untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
2.      Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Selanjutnya jika dilihat dari segi pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri maka tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera.

C.     Sumber-Sumber Hukum Islam
1.     Al-Qur’an
Menurut bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata dasar Qara-Yaqra’u, Qira’atan-Wa qur’anan, yang artinya bacaan. Sedangkan meurut istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah swt. Yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada manusia secara mutawatir yang diperintahkan untuk mempelajarinya. Al-Qur’an tediri dari 114 surat dan 30 juz.
2.    Al Hadits
Menurut bahasa, hadits artinya baru, dekat dan berita. Sedangkan menurut istilah, hadits adalah perkataan (qaul), perbuatan (fi’il) dan ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum. Hadits disebut juga Sunnah, yang menurut bahasa artinya jalan yang terpuji atau cara yang dibiasakan. Menurut istilah, sunnah sama dengan pengertian hadits, yaitu segala ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. yang harus diterima sebagai ketentuan hukum oleh kaum muslimin dan segala yang bertentangan dengannya harus ditolak.

3.     Jtihad
Menurut arti bahasa Ijtihad berarti : memeras pikiran/berusaha dengan giat dan sungguh-sungguh, mencurahkan tenaga maksimal atau berusaha dengan giat dan sungguh-sungguh.

4.     Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat), atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Para ulama ilmu fiqh membedakan hukum taklifi ke dalam lima macam, yaitu Wajib, Haram, Sunat, Makruh dan Mubah.

D.  Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
1. Prinsip Tauhid

     Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya.

2. Prinsip Keadilan
              Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur
an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Quran terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.

3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
            Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.

4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
            Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)

5. Prinsip Persamaan/Egalite
            Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip At-Ta
awun
            Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi
            Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya --- tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

E.  Azas-azas Hukum Islam

Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
1. Azas Nafyul Haraji ; meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif ; tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj ; bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia ; Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata ; artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika ; artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat ; Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam ; artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

F.  Ahkamul khamsah
Ahkamul khamsah (hukum yang lima) adalah hukum terhadap PERBUATAN yang menguraikan tentang wajib, haram, mandub/sunah, makruh dan mubah, penjelasannya sbb:

1. Melaksanakan
a. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut pasti (jazim) harus dijalankan dan adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya WAJIB. Berpahala mengerjakannya dan berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat,
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya shalat itu, sangat berat dilakukan kecuali orang-orang yang khusyu’ (Al-Baqarah 45).

Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat' (Al-Muddatstsir 4).

Ada perintah shalat pada suatu ayat dan sanksi atau hukuman jika tidak menjalankan pada ayat lainnya.

b. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut tidak pasti harus dijalankan dan tidak adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya MANDUB/SUNAH. Berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat tahajud,
Dan pada sebahagian malam hendaklah kamu shalat tahajud sebagai ibadah sunnah bagimu. Mudah-mudahan (dengan shalat tahajud itu) Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji (Al-Isra’ 79).

Tidak ada sanksi apa-apa jika tidak melaksanakan shalat tahajud, tetapi Allah swt menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang shalat tahajud.
2. Meninggalkan
a. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut pasti harus ditinggalkan dan adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya HARAM. Berpahala meninggalkannya dan berdosa mengerjakannya.
Misal: larangan berzina,
Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk (Al-Isra’ 32).
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera (An-Nur 2).

Ada larangan melakukan zina dan sanksi baik didunia maupun diakhirat jika melakukannya.

b. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut tidak pasti harus ditinggalkan dan tidak adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya MAKRUH. Berpahala meninggalkannya dan tidak berdosa mengerjakannya.
Misal: melajang/membujang,
Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku (Al-Hadits).
Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah perbuatan tabattul (membujang) (Al-Hadits).
Rasulullah menganjurkan untuk tidak membujang tetapi Rasulullah membiarkan/mendiamkan beberapa sahabat membujang, termasuk Abu Hurairah. Artinya, af’al (perbuatan) Rasulullah membiarkan beberapa sahabat membujang.

3. Pilihan
Manusia diberikan pilihan untuk melaksanakannya atau meninggalkannya dan keduanya tidak berdosa dan tidak berpahala, hukumnya MUBAH.
Misal: bekerja setelah shalat Jum’at,
Apabila telah ditunaikanlah shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi (Al-Jumu’ah 10).
Karena perbuatan ini dilarang sebelumnya, yakni bertebaran (bekerja) saat shalat Jum’at dan kemudian dibolehkan bekerja setelah melaksanakan kewajiban tersebut. Apakah kita mau tidur atau bekerja kembali setelah shalat Jum’at, hal itu terserah kita memilih yang mana.

Begitulah penjelasannya, betapa perlunya kita mengkaji Islam karena mungkin kita sangat disibukkan oleh segala sesuatu yang mubah sehingga tidak berarti apa-apa didepan Allah swt. Misalkan terlalu asyik menikmati TV, mengobrol, atau menyalurkan hobi lainnya sehingga melalaikan ibadah wajib apalagi yang sunnah.

Bisa jadi kesibukan-kesibukan tersebut merupakan hal yang mubah saja dan tidak ada nilai tambahnya (pahala) dihadapan Allah swt. Agar selamat dunia-akhirat saatnya kita untuk mengerjakan yang ada nilainya dihadapan Allah swt, dan agar tahu sesuatu yang bernilai itu kita perlu belajar Islam.

G. Sejarah perkembanagan hukum islam dan mazhab


Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208). Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.

Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .

Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

H.  Gambaran singkat tentang peradilan agama/mahkamah syar’iyah dan kompilasi hkm islam
1. Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda
Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.
Beberapa macam peradilan menurut Supomo, pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah tatanan peradilan.
a.       Peradilan Gubernemen, tersebar diseluruh daerah Hindia Belanda yang terdiri dari peradilan untuk golongan eropa disebut Landrechter (peradilan tingkat pertama), Raad Van Justitie (peradilan tingkat banding), dan Hoogerechtshoft(peradilan tingkat kasasi). Untuk golongan Indonesia dilakukan oleh Landraaddan landgerecht (pengadilan kabupaten dan pengadilan negeri).
b.      Peradilan Pribumi tersebar diluar jawa dan madura, yaitu dikarasidenan Aceh, tapanuli, sumatera barat, jambi, palembang, bengkulu, riau, kalimantan barat, kalimantan selatan dan timur, manado, dan Sulawesi, maluku dan dipulau lombok dari keresidenan bali dan lombak
c.       Peradilan Swapraja, tersebar hampir diseluruh daerah Swapraja, kecuali di Pakualaman dan Pontianak
d.      Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat kedudukan peradilan Gubernemen, di derah-daerah dan menjadi bagian dari bagian Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah Swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e.       Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan peradilan Gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi Atau Peradilan Swapraja. Peradilan desa memutuskan perkara-perkara yang menyangkut perselisihan masyarakat desa, hakim bersifat mendamaikan.

Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencampuri organisasi pengadilan agama, tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan raja Belanda yang dimuat dalam staatblad 1882 no.152. dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan yang cukup penting, yaitu :
a.       Reorganisasi ini pada dasarnya membentuk Pengadilan Agama yang baru disamping Landraad dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas daerah kabupaten.
b.      Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaan. Menurut Noto Susanto, perkara-perkara itu umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat dengan agama Islam.

Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama berdasarkan Staatsblad tahun 1882 no. 152 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa-Madura. Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu menurut penulis Belanda Van De Berg  mengemukakan sebuah teori yang disebut teori receptio in complexu yang artinya bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Teori Receptio In Complexuyang dikemukakan Van De Berg mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena teori Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengemukakan teori Receptio yang menurut teori ini hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat
Teori receptio bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerinath kolonial dalam penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda
Pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak memberikan jalan keluar bagi peradilan agama di daerah lainnya. Karena itu pemerintah pada tahun yang sama mencabutnya kembali dan menerbitkan peraturan yang lain yaitu peraturan pemerintah No.45 tahun 1957 tentang pendirian mahkamah syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dalam peraturan ini disebutkan tentang wewenang absolut Peradilan Agama. Menurut peraturan itu, wewenang mahkamah syari’ah adalah:
a.       Nikah
b.      Talak
c.       Rujuk
d.      Fasakh
e.       Nafaqah
f.       Mahar
g.      Tempat kediaman
h.      Mut’ah
i.        Hadlanah
j.        Perkara waris-mewaris
k.      Wakaf
l.        Hibah
m.    Shadaqah
n.      Baitul mal.

Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan agama sebagai sutu badan perdailan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (jawa dan madura) pada tanggal 11 agustus 1882 kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (konnink besluit) yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 no. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 no. 152. Badan perdailan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan agama.
Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 no.153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.
Staatblad 1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura diadaklan satu pengadilan agama, yang wilayah hukumnya sama dengna wilayah hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/residen
Pasal 3
Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Putusan pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan
Pasal 7
Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat dinyatakan berlaku.

2.      Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dintatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.

Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi SooryoHooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:
a.       Tiho hooin(pengadilan negeri)
b.      Keizai hooin(hakim poloso)
c.       Ken hooin(pengadilan kabupaten)
d.      Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
e.       Sooryoo hoon(raad agama)

Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah, pada tanggal 29 april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin” (pengadilan pemerintahan balatentara).

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka masuk Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak. Pada tanggal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama.“Dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.”
       Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945, maka pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.

3.      Peradilan AgamA pada Masa Kemerdekaan
         a. Pada masa awal kemerdekaan/ orde lama
            Pada awal kemerdekaan republik Indonesia pengadilan agama masih berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan pemerintah kolonial Belanda berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang berbungi: “segala badan selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
            Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang Peradilan Agama yaitu Undang-undang nomor 19 tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan. Berdasarkan undang-undang ini kekuasaan kehakiman di Indonesia di laksanakan oleh tiga lembaga peradilan yaitu:
1)    Peradilan Umum
2)    Peradilam Tata Usaha Pemerintah
3)    Peradilan Ketentaraan
            Peranan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dihapuskan. Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang hakim ahli agama Islam.
Pada masa berikutnya, berdasarakan ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura. Menurut ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum pengadilan negeri”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila tidak ada ketentuan lain, di ibu kota propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah propinsi yang wilayahnya meliputi satu, atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh menteri agama.
            Adapun kekuasaan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah itu, menurut ketetapan pasal 4 PP tersebut, adalah sebagai berikut:
1)      Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memeriksa atau memutuskan perselisihan anatara suami dan istri yang beragama Islam dan semua perkara yang menurut hukum yang diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju’, fasakh, nafaqah, maskawin (mahr), tempat kediaman (maskawin), muth’ah dan sebagainya.
2)      Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam.
Pada masa awal kemerdekaan ini terdapat beberapa macam peraturan yang mengatur tentang Peradilan Agama. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 no. 152 dan Staatsblad Tahun 1937 no. 116 dan 610).
2)      Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar untuk sebagai Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 no. 638 dan 639).
3)      Peraturan Pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah di luar jawa dan Madura.

b.      Masa orde baru
            Uraian diatas menunjukkan bahwa sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar penyelenggraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI. Selanjutnya, pada tahun 1970 Jo. UU no. 35 tahun 1999, dan UU no. 1 tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya. Dengan nerlakunya UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 athun 1999 memberi tempat kepada PADI sebagai salahsatu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaa  kehakiman dalam negara kesatuan republik Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974, maka kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI bertambah. Oleh karena itu , maka tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat,. “dari rata-rata 35.000 perkara sebelum berlakunya UU perkawinan menjadi hampir 300.000-an perkara” dalam satu tahun diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha meningkatkan jumlah dan tugas aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
            Peradilan agama bakan lagi merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri karena putusan Pengadilan Agama harus mendapat pengukuhan dari peradilan umum dan peradilan agama tidak dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau eksekusi sendiri karena tidak ada perangkat juru sita, eksekusi menjadi kewenangan peradilan umum.
            Sampai dengan tahun 1977 belum ada hokum acara yang mengatur peradilan agama secara tersendiri sebagaimana dihendaki UU No. 14 tahun 1970 maka perkara-perkara peradilan agama yang sampai pada upaya hokum kasasi ke mahkamah agung diatur dengan paraturan mahkamah agung nomor 1 tahun 1977 dan surat edaran mahkamah agung nomor MA/Pemb/0921/1977.
            Peraturan ini menghapus mahkamah islam tinggi dan kerapatan qadi besar maupun pengadilan agama/mahkamah syari’ah propinsi yang berfungsi sebagai pengadilan tingkat banding dan sekaligus pengadilan tertinggi dalam lingkungan peradilan agama.
            Karena belum adanya keseragaman nama pada peradilan agama, pada tahun 1980 menteri agama mengeluarkan keputusan menteri agama nomor 6 tahun 1980 yang dengan keputusan ini pengadilan tingkat pertama bernama pengadilan agama dan pengadilan tingkat banding bernama pengadilan tinggi agama.
            Pada tahun 1989 baru dapat terwujud apa yang menjadi kehendak undang-undang nomor 14 tahun 1970 mengenai peraturan yang tersendiri yang mengatur tentang peradilan agama dengan diundangkannya undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. 
            Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989 posisi PADI semakin kuat, dan dasar penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang unikatif. Selain itu, dengan perumusan KHI yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka salah satu masalah yang diahadapi oleh pengadilan dalam lingkungan PADI, yaitu keanekaragaman rujukan dan ketentuan hukum, dapat diatasi. Berkenaan dengan hal itu, maka dalam uraian berikutnya dikemukakan tentang UU no.7 tahun 1989 serta instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang penyebar luasan kompilasi hukum Islam.
            Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu T1;1ban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7).
Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama. Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.

Blogger
Disqus

Tidak ada komentar