Hukum Kontrak

A.  Pengertian
Hukum Kontrak (contract of law; bahasa Inggris) atau overeencomstrech (dalam bahasa Belanda) mengandung pengertian keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.
Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.

Sistem Pengaturan Hukum Kontrak

            Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
            Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.

Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;

Karakterisik Hukum Kontrak
Cirri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya  merupakan karakterisik dalam permbuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang di ungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin suatu kontrak yang sah tanpa adanya kesepakatan bersama.
B.  Asas-Asas Hokum Kontrak:

1.    Asas Kebebasan Berkontrak
      Pasal 1338 (1)  KUHPdt
            “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi  mereka yang membuatnya”. Pembatasan : Pasal 1337 KUHPdt “Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan UU”.

2.    Asas Konsensualisme
Dalam pasal 1320 KUHPdt, salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu : adanya kesepakatan antara para pihak.

3.    Asas Pacta Sunt servada/Asas kepastian Hukum
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah mengikat/ berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Asas ini memberikan kepastian hokum bagi mereka yang membuatnya.

4.    Asas Kepribadian
Menunjukan personalia dalam suatu perjanjian.
Paal 1315 KUHPdt
“dalam perjanjian pada umumnya hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian”
Pengecualian pada pasal 1317 KUHPdt dan pasal 1318 KUHPdt

5.    Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Perbuatan sukarela (Zaakwaameming)
6.    Asas Kebiasaan
Diatur dalam pasal 13339 jo 1347 KUHPdt.
Pasal 1339 KUHPdt : (kebiasaan  Umum )
“Suatu persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan UU.
Pasal 1347 KUHPdt : (kebiasaan Setempat)
“Hal-hal yang menurut kebiasaan diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan didalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.

7.    Asas Itikad Baik
Pasal 1388 (3) KUHPdt :
“Bahwa tiap orang dalam membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Ada 2 macam itikad baik :
Itikad baik yang subyektif –kejujuran, sikap batin.
Itikad baik yang obyektif-pelaksanaan perjanjian didasarkan atas norma kepatuatn/sesuai norma yang berlaku dimasyarakat,

8.    Asas Kepercayaan
Saling adanya kepercayaan para pihak yang melakukan perjanjian.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, antara lain:
1. Perjanjian Cuma Cuma (pasal 1314 KUHPERdata)
suatu persetujuan dengan cuma cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
perjanjian dengan cuma cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misal: Hibah

2. Perjanjian atas beban
Perjanjian atas beban adalh perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Jadi, dua pihak dalam memberikan prestasi tidak imbang.
Contoh: Perjanjian pinjam pakai ----> debitur mempunyai beban untuk mengembalikan barang, sedangkan kreditur tidak.
Perjanjian cuma cuma dan atas beban penekanan perbedaannya ada di PRESTASI

3. Perjanjian Timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Hak dan Kewajiban harus imbang. Misal: Perjanjian Jual Beli

4. Perjanjian Sepihak.
Hanya ada satu hak saja dan hanya ada satu kewajiban saja. cntoh: Hibah
Perjanjian Timbal Balik dan Sepihak penekanan perbedaannya ada di hak dan kewajiban.

5. Perjanjian Konsesual
Perjanjian Konsesual adalah perjanjian di mana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUPDT, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.( Pasal 1338)

6. Perjanjian RIIL
perjanjian yang hanya berlaku  sesudah terjadi penyerahan barang. Misal: Perjanjian penitipan barang, PErjanjian pinjam pakai.

7. Perjanjian Formil
Perjanjian yang harus memakai akta nota riil. contoh: jual beli tanah.
 8. Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama (nomina) adalah perjanjian yang sudah diatur dan diberi nama di dalam KUHPDT.
Perjanjian tidak bernama (innomina) adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPDT, namun perjanjian berkembang dalam masyarakat. Contoh: Perjanjian kerja sama, Perjanjian pemasaran, Perjanjian pengelolaan.

9. Perjanjian Obligatoir.
PErjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir hanya melahirkan hak dan kewajiban saja, pelaksanaannya nanti.

10. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misal Pembebasan Utang

            Kemudian kontrak dapat di bagi dalam beberapa macam diantaranya:
  1. Kontrak bersyarat;
  2. Kontrak dengan ketetapan waktu;
  3. Kontrak mana suka (alternatif);
  4. Kontrak tanggung menanggung;
  5. Kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
  6. Kontrak dengan ancaman hukuman;
1.    Kontrak Bersyarat
adalah kontrak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Kontrak ini dapat dibagi atas dua yakni kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.

2.    Kontrak  dengan Ketetapan Waktu
Beda halnya dengan kontrak bersyarat, kontrak dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya kontrak, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan kontrak.

3.    Kontrak Mana Suka atau Alternatif
Kontrak semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia  menyerahkan salah satu dari dua barang atau lebih yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya. Misalnya si A mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani (anggaplah si B) yang sudah lama tidak dibayarnya. Kemudian anatara si A dan si B mengadakan suatu perjanjian, bahwa si  A akan dibebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan kudanya atau sepuluh kwintal berasnya.
C. Syarat Sahnya Kontrak
1. Kesepakatan
            Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
            Para pihak yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
            Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autenti tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.
2. Kecakapan
            Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
a.    Orang-orang yang belum dewasa, belum berusia 21 tahun dan belum menikah
b.    Berusia 21 tahun tetapi di bawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros dan;
c.    Orang yang tidak berwenang.
Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki.
3. Hal tertentu
            Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
            Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.

4. Sebab yang halal
Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

D.  Unsur-Unsur Kontrak

1. Unsur Esensiali
            Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
2. Unsur Naturalia
            Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
3. Unsur Aksidentalia
            Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut.
E. Akibat Hukum Suatu Kontrak

            Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak, maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama. Dengan demikian, akibat hokum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri.
            Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

F. Berakhirnya Suatu Kontrak

            Berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan berakhirnya perikatan adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak kreditor adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan lain-lain.
Disebutkan dalam KUH Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu :
1. Karena Pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Karena pembaharuan utang (Novasi)
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
5. Karena percampuran utang (Konfusio)
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang yang terutang
8. Karena batal atau pembatalan
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
10. Karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)

Rujukan:
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 2007, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
H.R. Daeng Naja, Contract Drafting, 2006, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Periksa Ahmadi Miru, 2010. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Wali Press, Jakarta, hal 53 s/d 61, lihat juga dalam Subekti, 2002. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Salim HS, 2005.Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti. 2002. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa


Blogger
Disqus

Tidak ada komentar