Hukum Pers

A.  Pengertian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film. Pers (press) atau jurnalisme adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada public. Sedangkan Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers diartikan :
1. Usaha Percetakan dan Penerbitan.
2. Usaha pengumpulan data dan penyiaran berita.
3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio.
4. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita.
5. Medum penyiaran berita sperti surat kabar, majalah, dan radio, televisi, dan film.

Sedangkan dalam kamus hukum pers diartikan sebagai usaha-usaha yang berhubungan dengan percetakan, penerbitan, kewartawanan, penyiaran berita di surat kabar, majalah radio, film dan televisi.
Pers mempunyai segi lain, bukan sekedar mencerminkan apa yang terjadi secara reaktif, secara paska kejadian, post facktum, tetapi melihat lebih dulu, merencanakan dan mengagendakan. Pers bukan saja riding the news, tetapi, sebutlah sekedar untuk membedakan, making the news, planning the news. Dari sisi inilah, pers dikatakan tidak sekedar terbawa oleh peristiwa dan masalah, tetapi semacam membuat, menentukan atau lebih proposional mempengaruhi agenda.
B.  Asas-Azas Hukum Pers
Pasal 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan, kemerdekaan pers ialah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
a.       Demokrasi ialah Bentuk atau system pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (pemerintah dan rakyat), gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Keadilan berasal dari kata adil yaitu tidak berat sebelah, tidak memihak.
b.      Keadilan merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dsb) yang adil. Supremasi diartikan sebagai kekuasaan tertinggi (teratas).
c.       supremasi hukum, dimana hukum merupakan kekuasaan tertinggi atau kekuasaan teratas.
C.  Fungsi Hukum Pers
            Pasal 3 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 menentukan bahwa fungsi pers adalah sebagai berikut :
ü  Pers nasional mempunyai fungsi sebgai media informasi, pendidikan, hiburan, dan control sosial.
ü  Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sedangkan Kusumaningrat mengemukakan fungsi pers tersebut adalah sebagai berikut :
a. Fungsi Informatif
Fungis informative merupakan fungsi memberi informasi melalui berita secara teratur kepada khlayak. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya.

b. Funsi Kontrol
Pers yang bertanggung jawab tentu akan akan masuk ke balik ke panggung kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus meberitakan apa yang berjalan baik dan berjalan tidak baik.

D.  Dasar hukum pers
1. UUD 1945 pasal 28
2. UUD 1945 pasal 28 F
3. Tap MPR NO. XVII/MPR/1998 tentang HAM
4. UU NO.39 TAHUN 1999 pasal 14 tentang HAM
5. UU NO.40 TAHUN 1999 tentang PERS
E.   Undang-undang Tentang Pers
            Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya, yaitu:
1.      Kemerdekaan Pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
2.      Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.      Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana pun.
4.      Karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
5.      Karena Undang-undang Pers Lama sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Seperti sudah disebutkan di atas, Undang-undang Pers diundangkan pada tahun 1999, sedangkan Komisi Konstitusi baru pada akhir April 2004 menyetujui dimasukkannya perlindungan negara atas kebebasan Pers di dalam Undang-udang 1945. Undang-undang Pers menggunakan istilah kemerdekaan Pers, dan Komisi Konstitusi menggunakan istilah kebebasan Pers. Dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara istilah kemerdekaan Pers dengan istilah kebebasan Pers. Istilah yang dipergunakan secara normatif adalah kemerdekaan Pers, tetapi dalam bahasa lisan, lebih suka digunakan istilah kebebasan Pers. Kemerdekaan Pers adalah kebebasan Pers, dan sebaliknya kebebasan Pers adalah kemerdekaan Pers.
Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan sebagai jaminan kemerdekaan Pers, Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan Pers dengan demikian akan disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28 huruf G Undang-undang 1945, dan dalam Undang-undang Pers.
F. Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan deklarasi Universal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan Pers ialah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan per situ, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab social, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati has asasi setiap orang, karena itu pers dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak public memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan public dan menegakan integeritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik, diantaranya
a.       Selanjutnya dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik dikatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran pasal ini menguraikan :
o  Independen, berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.
o  Akurat, berarti bias dipercaya benar, sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
o  Berimbang, berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
o  Tidak beritikad buruk, berarti tidak ada niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

G. Delik Pers dalam KUHP
Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi terhadap pers, dimana menggunakan ketentuan KUHP, padahal sudah ada UU No 40/1999 tentang Pers.
a. Delik Kebencian: 
Permusuhan, Kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah, pasal 154 dan 155.
Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan, pasal 156 dan 157

b. Delik penghinaan: 
Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (XI) : Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (pasal 207)
Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
1. Pasal 134 : Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Pasal 134 dan 135

c. Delik Penyebaran Kabar Bohong: 
Pemberitaan Palsu
(1). Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)

d. Delik Kesusilaan: 
Pelanggaran kesusilaan (XII) :
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atas pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah. (Pasal 282)

e. Pertangungjawaban Pers: 
- Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam UU Pers yang kurang jelas diatur baik dalam substansi pasal-pasalnya maupun penjelasan mengakibatkan adanya pendapat yang pro dan kontra sebagai tindak lanjut penyelesaiannya secara hukum di pengadilan negeri. Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut sebenarnya merupakan pokok materi yang sangat terkait dengan pengertian delik pers yang mengarah pada Trial by Press maupun pertanggungjawaban pidana Perusahaan Pers.
- Delik pers yang harus memperhatikan faktor intern seperti investigasi, verifikasi,check and balances, dan cover both side beserta sanksinya secara jelas diatur dalam pasal 18 UU Pers yang memiliki unsur-unsur melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2), pasal 13, di mana pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur perihal pelanggaran Asas Praduga Tak Bersalah serta pers wajib melayani Hak Jawab. Berbicara perihal pengertian delik pers, maka harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 18 tersebut diatas dan tidak mengacu pada KUHP seperti pasal 154, pasal 155, pasal 310 yang menyangkut pencemaran nama baik, dengan pengertian pasal-pasal KUHP tersebut hanyalah merupakan sarana atau alat dalam membuktikan terjadinya pelanggaran atas unsur Asas Praduga Tak Bersalah dan atau unsur pers tidak melayani hak jawab.

H. SEJARAH PERS
Dalam perkembangan sejarah pers di dunia kita mengenal empat teori pers, yang masing-masing mencerminkan masyarakat ketika itu, yaitu teori pers otoriter, teori pers komunis, teori pers tanggung jawab sosial, dan teori pers liberal.  Teori pers otoriter, teori ini dikenal sebagai teori yang tertua diantara empat teori lainya, lahir pada abad ke lima belas sampai ke enam belas pada saat bentuk pemerintahaan bersifat otoriter.
Dalam teori ini, media masa berfungsi menunjang negara dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi sepenuhnya media masa atau pers. Akibatnya media masa sepenuhnya berada dibawah pengawasan pemerintah.
Libertarian yang berarti Liberal atau kebebasan.. Dalam system pers ini, pers memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki. Pers dipersepsikan sebagai kebebasan tanpa batas, artinya kritik dan komentar pers dapat dilakukan pada siapa saja. Pada sistem pers ini siapa saja dapat menggunakan media asal memiliki kemampuan ekonomi. Media diawasi dengan proses pelurusan sendiri untuk mendapatkan kebenaran dalam pasar ide yang bebas serta melalui pengadilan. Yang dilarang pada sistem pers ini adalah penghinaan, kecabulan, dan kerendahan moral. Lembaga media massa dimiliki oleh perseorangan sehingga bisa saja terjadi monopoli lembaga media massa. Media massa pada sistem ini adalah alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Teori pers tanggung jawab sosial, teori ini merupakan perkembangan dari liberltarian. Munculnya teori ini dilandasi atas kesadaran terhadap tanggung jawab sosial sebagai akibat revolusi komunikasi yang melanda dunia. Teori ini beranjak pada urgensinya penetuan siapa, fakta yang bagaiman yang dapat disampaikan pada masyarakat.
Pada teori pers soviet komunis kekuasaannya bersifat sosial, karena berpegang pada kebenaran teori marxis. Teori ini berkembang di Uni Soviet, walaupun ada kesamaannya dengan yang dilakukan Nazi dan Italia Fasis. Teori ini terbentuk dari pemikiran Marxis, Leninis, dan Stalinis dengan campuran pikiran Hegel, dan pandangan orang Rusia abad 19. Teori Pers Komunis menyatakan, bahwa pers merupakan alat pemerintah dan bagian integral dari negara, sehingga pers harus tunduk kepada pemerintah. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk menyatakan kebenaran. Tujuan utama dari media massa adalah memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan dari sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktatoran Partai. Yang berhak menggunakan media massa adalah anggota-anggota partai yang loyal dan ortodoks.
Media massa dikontrol melalui pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh pemerintah. Media massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai. Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Pada sistem pers ini, media massa adalah milik negara dan media sangat dikontrol dengan ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara.

Sejarah Pers Indonesia
            Dalam gambaran umum sejarah pers Indonesia di bagi menjadi dua yaitu hukum pers era kolonial dan hukum pers era Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan begitu saja karena memiliki keterkaitan yang sangat erat. Jaman Penjajahan Belanda Surat kabar di Indonesia untuk pertama kalinya berdiri pada tahun 1744 di Jakarta  dengan surat kabar bernama Bataviacshce Nouvelle pada tahun 1744 di Jakarta,  dan pada tahun 1776 terbit surat kabar Vendu Niews yang keduanya dikelola  orang-orang Belanda dan ditujukan untuk pembaca orang Belanda dan pribumi  yang mengerti bahasa Belanda.
Isi dari surat kabar tersebut tentu saja bernafaskan  suara pemerintahan kolonial Belanda. Lalu tahun 1854 terbit majalah Bianglala,  disusul 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya dan surat kabar  tersebut ditujukan untuk pembaca pribumi. Pada abad ke-20, terbitan surat kabar pertama di Bandung milik bangsa  Indonesia yang bernama Medan Prijaji yang dikelola oleh Tirto Hadisurjo atau  Raden Mas Djokomono. Untuk selanjutnya, Tirto Hadisurjo dianggap sebagai  pelopor dasar-dasar jurnalistik modern Indonesia.
            Dalam era NKRI sebetulnya di bagi lagi menjadi beberapa periode, seperti jaman kemerdekaan, jaman reformasi dan sebagainya. Namun dalam makalah ini akan di bahas secara umum saja. Dalam periode NKRI pers mengalami berbagai perubahan sistem teori pers, namun dalam makalah yang lebih memfokuskan dalam pembahasan mengenai dewan pers maka kami membagi dalam tiga periode, antara lain :
a.    Orde lama : Dewan Pers pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi dari Dewan Pers saat itu adalah sebagai pendamping Pemerintah serta bersama-sama membina perkembangan juga pertumbuhan pers di tingkat nasional. Saat itu, Menteri Penerangan secara ex-officio menjabat sebagai Ketua Dewan Pers.
b.    Orde baru : Pada era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967.
c.    Masa reformasi : Disahkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers membuat berubahnya Dewab Pers menjadi Dewan Pers yang Independen, dapat dilihat dari Pasal 15 ayat (1) UU Pers.


Blogger
Disqus

Tidak ada komentar